1. Perundingan Linggajati

Perundingan Linggarjati atau kadang juga disebut Perundingan Lingga'r'jati adalah suatu perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat yang menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan ditandatangani secara sah oleh kedua negara pada 25 Maret 1947.
Latar Belakang
Masuknya AFNEI yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan 'status quo' di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya peristiwa 10 November, selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggung jawab untuk menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia. Oleh sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr, Diplomat Inggris, mengundang Indonesia dan Belanda untuk berunding di Hooge Veluwe, tetapi perundingan tersebut gagal karena Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatera dan Pulau Madura, tetapi Belanda hanya mau mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja. Dalam perundingan ini Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, Belanda diwakili oleh tim yang disebut Komisi Jendral dan dipimpin oleh Wim Schermerhorn dengan anggota H.J. Van Mook, dan Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini.
Hasil perundingan tersebut menghasilkan 17 pasal yang antara lain berisi:
- Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan Madura.
- Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
- Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara RIS.
- Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth/Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.
2. Komisi 3 Negara

Latar Belakang Komisi Tiga Negara
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan Dewan Keamanan atau biasa disebut badan dunia yang ikut berperan dalam upaya menyelesaikan pertikaian antara Indonesia dengan Belanda.
Lembaga yang dibentuk oleh PBB dinamakan dengan KTN yang anggotanya terdiri atas beberapa Negara seperti Belgia mewakili Belanda, Australia mewakili Indonesia dan Amerika Serikat sebagai pihak ke tiga yang ditunjuk oleh Belgia dan Australia.
Latar belakang dari pembentukan KTN ini bermula ketika pada tanggal 20 Juli 1947, Van Mook menyatakan bahwa, ia merasa tidak terikat lagi dengan persetujuan Linggarjati dan perjanjian gencatan senjata.
Seperti yang diketahui bahwa pada tanggal 21 Juli 1947 tentara Belanda melancarkan Agresi Militer pertamanya terhadap pemerintah bangsa Indonesia.
KTN bertugas untuk mengawasi secara langsung penghentian aksi tembak-menembak sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan PBB.
Didalam permasalahan militer KTN dapat mengambil inisiatif untuk menyelesaikannya, sedangkan didalam masalah politik KTN hanya dapat memberikan saran atau usul karena tidak mempunyai hak untuk menentukan keputusan politik yang akan diambil oleh bangsa Indonesia.
Kemudian pihak Belanda membuat batas-batas wilayah dengan memasang patok-patok pada wilayah status quo. Kesulitan yang dihadapi oleh Komisi Tiga Negara adalah melewati garis Van Mook, karena Belanda sangat mempertahankan garis tersebut.
Garis Van Mook merupakan suatu garis yang berguna untuk menghubungkan pucuk-pucuk pasukan Belanda yang maju setelah perintah Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan aksi tembak-menembak.
Tugas Komisi Tiga Negara
KTN ini memiliki beberap tugas pokok yaitu sebagai berikut ini :
- Untuk menguasai dengan cara langsung penghentian aksi tembak menembak sesuai dengan resolusi PBB.
- Bertugas menjadi penengah dari konflik yang terjadi antara Indonesia dan juga Belanda.
- Berwenang untuk memasang patok-patok pada wilayah status quo yang dibantu oleh TNI.
- Bertugas untuk mempertemukan kembali bangsa Indonesia serta Belanda dalam Perundingan Renville. Tetapi, Perundingan Renville ini justru memberi dampak semakin sempitnya wilayah RI.
Anggota Komisi Tiga Negara
KTN beranggotakan tiga negara yang dipilih oleh bebberapa perwakilan Negara, yaitu sebagai berikut :
- Negara Australia yang dipilih oleh Bangsa Indonesia yang diwakili oleh Richard C. Kirby
- Belgia yang dipilih oleh Belanda yang diwakili oleh Paul van Zeeland
- Amerika Serikat adalah sebagai pihak yang netral diwakili oleh Dr. Frank Graham.
Isi Komisi Tiga Negara
Isi dari Komisi Tiga Negara sama dengan Isi dari perjanjian Renville, berikut ini penjelasannya :
- Belanda hanya mengakui 3 daerah yaitu Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian dari wilayah Republik Indonesia.
- Disepakatinya sebuah garis demarkasi yang berguna untuk memisahkan wilayah bangsa Indonesia dan daerah pendudukan Belanda.
- TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur Indonesia di Yogyakarta..
Dampak dari Komisi Tiga Negara
Dibawah ini terdapat beberapa dampak ktn bagi bangsa indonesia, yaitu antara lain :
- Mempertemukan Belanda dan bangsa Indonesia didalam perundingan Renville pada tanggal 8 Desember 1947 – 17 Januari 1948.
- Mengembalikan para pemimpin Republik Indonesia yang ditahan oleh pihak Belanda di Bangka.
- Membantu proses terjadinya sebuah Perjanjian Roem Royen pada tanggal 14 April 1949.
- Nama KTN kemudian diubah menjadi UNCI (United Nations Commission for Indonesia).
- UNCI ini sendiri dipimpin oleh Merle Cochran yang berasal dari Amerika Serikat dan dibantu oleh Critchley (Australia) dan Harremans (Belgia).
3. Perjanjian Revile

Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), Committee of Good Offices for Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia. Perjanjian ini diadakan untuk menyelesaikan perselisihan atas Perjanjian Linggarjati tahun 1946. Perjanjian ini berisi batas antara wilayah Indonesia dengan Belanda yang disebut Garis Van Mook.
- Latar Belakang
Pada tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia. Gubernur Jendral Van Mook dari Belanda memerintahkan gencatan senjata pada tanggal 5 Agustus. Pada 25 Agustus, Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi yang diusulkan Amerika Serikat bahwa Dewan Keamanan akan menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda secara damai dengan membentuk Komisi Tiga Negara yang terdiri dari Belgia yang dipilih oleh Belanda, Australia yang dipilih oleh Indonesia, dan Amerika Serikat yang disetujui kedua belah pihak.
Pada 29 Agustus 1947, Belanda memproklamirkan garis Van Mook yang membatasi wilayah Indonesia dan Belanda. Republik Indonesia menjadi tinggal sepertiga Pulau Jawa dan kebanyakan pulau di Sumatra, tetapi Indonesia tidak mendapatwilayah utama penghasil makanan. Blokade oleh Belanda juga mencegah masuknya persenjataan, makanan dan pakaian menuju ke wilayah Indonesia.
-Lokasi Dan Tokoh
Perjanjian diadakan di wilayah netral yaitu di atas kapal USS Renville milik Amerika Serikat dan dimulai tanggal 8 Desember 1947.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin Harahap, dan Johannes Leimena sebagai wakil. Delegasi Kerajaan Belanda dipimpin oleh Kolonel KNIL Abdulkadir Widjojoatmodjo. Delegasi Amerika Serikat dipimpin oleh Frank Porter Graham.
Isi Perjanjian
- Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra sebagai bagian wilayah Republik Indonesia
- Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda
- TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur.
-Ending
Sebagai hasil Persetujuan Renville, pihak Republik harus mengosongkan wilayah-wilayah yang dikuasai TNI, dan pada bulan Februari 1948, Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah. Divisi ini mendapatkan julukan Pasukan Hijrah oleh masyarakat Kota Yogyakarta yang menyambut kedatangan mereka.
4. Perundingan Roem-Royem
4. Perundingan Roem-Royem

Perjanjian Roem-Roijen (juga disebut Perjanjian Roem-Van Roijen) adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang dimulai pada tanggal 14 April 1949 dan akhirnya ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Namanya diambil dari kedua pemimpin delegasi, Mohammad Roem dan Herman van Roijen. Maksud pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa masalah mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun yang sama. Perjanjian ini sangat alot sehingga memerlukan kehadiran Bung Hatta dari pengasingan di Bangka, juga Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta untuk mempertegas sikap Sri Sultan HB IX terhadap Pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta, di mana Sultan HamengkuBuwono IX mengatakan “Jogjakarta is de Republiek Indonesie” (Yogyakarta adalah Republik Indonesia).
Kesepakatan
Hasil pertemuan ini adalah:
- Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya
- Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar
- Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta
- Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan semua tawanan perang
Pada tanggal 22 Juni, sebuah pertemuan lain diadakan dan menghasilkan keputusan:
- Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai perjanjian Renville pada 1948
- Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan persamaan hak
- Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia[2]
Ending Perjanjian Roem-Roijen
Terdapat banyak dampak perjanjian Roem Royen pada keadaan di Indonesia. Isi perjanjian Roem Royen termasuk pembebasan tahanan politik sehingga Soekarno dan Hatta kembali ke Yogyakarta setelah diasingkan. Yogyakarta juga menjadi ibukota sementara dari Indonesia. Terjadi juga penyerahan mandat dari Sjafruddin Prawiranegara sebagai presiden PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) kembali kepada Ir. Soekarno.
Yang paling mencolok adalah adanya gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia. Perundingan Roem Royen pun berujung dengan dilaksanakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda yang menyelesaikan permasalahan antara Indonesia dan Belanda.
Demikian sedikit pembahasan tentang perundingan Roem Royen meliputi latar belakang, tujuan, sejarah, hasil dan isi serta dampak yang ditimbulkan dengan adanya perjanjian Roem Roijen antara Belanda dan Indonesia secara lengkap. Peristiwa persetujuan Roem Royen ini pun menjadi salah satu peristiwa bersejarah dalam kelangsungan Republik Indonesia yang terjadi setelah era kemerdekaan.
5. Konferensi inter indonesia

Konferensi Inter Indonesia merupakan suatu konferensi yang dilakukan antara Negara Indonesia dan BFO (Negara bentukan Belanda) atau Negara boneka Belanda yang dikala itu Indonesia menjadi RIS (Republik Indonesia Serikat).
Awalnya, pembentukan negara BFO ini bertujuan untuk dapat menguasai kembali Indonesia sehabis merdeka. Negara cuilan yang terbentuk dikala itu berjumlah 16 negara yang dibagi menjadi tiga kawasan kekuasaan. Daerah kekuasaan pertama yaitu mencakup negara cuilan Pasundan, Indonesia, Jawa Timur, Negara Indonesia Timur, Madura, Sumatera Selatan, Sumatera Timur.
Daerah kekuasaan kedua yaitu mencangkup Riau, Jawa Tengah, Dayak Besar, Bangka, Belitung, Kaltim, Kalbar, Kalteng, Banjarmasin. Daerah kekuasaan ketiga yang terdiri dari wilayah Indonesia yang tidak masuk kedalam negara bagian.
Konferensi Inter-Indonesia ini merupakan konferensi antara pemerintah Republik Indonesia dan Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) atau Badan Permusyawaratan Federal, yaitu suatu badan yang merupakan suatu kumpulan negara-negara bagian bentukan Belanda.
Waktu Dan Tokoh
Konferensi ini diselenggarakan pada tanggal 19-22 Juli 1949 di Yogyakarta dan tanggal 31 Juli-2 Agustus 1949 di Jakarta. Peserta konferensi Inter-Indonesia merupakan wakil-wakil pemerintah RI dan wakil-wakil negara pada bagian yang dipimpin Van Mook.
Latar Belakang Konferensi Inter Indonesia
Latar belakang dilakukannya suatu Konferensi Inter Indonesia ini bermula ketika hasil Perjanjian Roem Royen yang menyatakan bahwa Indonesia ikut serta dalam KMB (Konferensi Meja Bundar).
Oleh alasannya itu, RI harus mempersiapkan diri dengan mengadakan suatu konferensi antar Indonesia yang dilakukan antara pihak Indonesia dan Negara Boneka Bentukan Belanda.
Sebab lainnya ialah suatu perubahan perilaku negara-negara cuilan BFO sehabis adanya serangan kedua Belanda yang kita kenal juga dengan nama Agresi Militer Belanda 2.
Karena simpati, negara-negara BFO ini lalu membebaskan beberapa pemimpin-pemimpin Indonesia. BFO juga turut andil dalam pelaksanaan Konferensi Inter Indonesia yang berlangsung di kota Yogyakarta.
Tujuan Konferensi Inter Indonesia
Tujuan diadakannya konferensi inter Indonesia ini ialah untuk membentuk suatu negara Federal atau negara yang sanggup disebut dengan negara serikat, yang didalamnya terdiri dari pemerintah pusat, provinsi dan daerah.
Dilaksanakannya konferensi inter Indonesia merupakan salah satu syarat yang harus dapat dilakukan Republik Indonesia Serikat (RIS) supaya dapat menerima ratifikasi kedaulatan dari pemerintah Belanda.
Konferensi ini dilakukan dua kali, yang pertama pada tanggal 19 hingga 22 Juli 1949 dan yang kedua berlangsung pada tanggal 30 Juni 1949 dengan tujuan memilih atribut Negara dan panitia dalam KMB (Konferensi Meja Bundar) di Den Haag, Belanda.
Hasil Konferensi Inter Indonesia
-Hasil Konferensi Inter Indonesia Pertama
Konferensi Inter Indonesia yang pertama dipimpin oleh Bung Hatta (Drs. Mohammad Hatta) yang dilakukan pada tanggal 19-22 Juli 1949.
Berikut ini adalah hasil konferensi inter Indonesia yang pertama :
- Pertahanan negara ialah suatu hak dari pemerintah RIS (Republik Indonesia Serikat).
- Angkatan perang RIS yaitu angkatan perang nasional.
- RIS ini akan mendapatkan kedaulatan dari pemerintah kerajaan Belanda dan Republik Indonesia.
- RIS dipimpin atau diketuai oleh Presiden yang dipilih oleh negara cuilan Republik Indonesia dan Badan Permusyawaratan Federal (Bijeenkomst Voor Federaal Overlag).
- Nama negara federal adalah Republik Indonesia Serikat (RIS).
-Hasil Konferensi Inter Indonesia Kedua
Setelah penetapan negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS), lalu dapat diputuskan untuk mengadakan konferensi inter Indonesia kedua.
Berlangsung pada tanggal 30 Juli 1949, bertujuan untuk dapat membentuk atribut Negara dan panitia yang akan ikut dalam perjanjian KMB di Den Haag, Belanda.
Berikut ini adalah hasil konferensi kedua, antara lain :
- Bendera Republik Indonesia Serikat yaitu sang saka merah putih.
- Lagu kebangsaan RIS adalah Indonesia Raya.
- Bahasa resmi (Nasional) Republik Indonesia adalah bahasan Indonesia.
- Pemilihan Presiden ini yang ditentukan oleh negara cuilan Republik Indonesia dan BFO.
- Membentuk suatu panitia yang bertugas dalam Konferensi Meja Bundar.
- Anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Sementara) ditentukan oleh negara cuilan yang berjumlah 16 negara.
Setelah dilakukannya Konferensi Inter Indonesia, lalu pelaksanaan KMB di Den Haad dilakukan pada tanggal 23 Agustus 1949 hingga tanggal 2 November 1949.
Berikut ini poin-poin isi perjanjian tersebut diantaranya :
- Belanda menyerahkan suatu kedaulatan atas Indonesia sepenuhnya terhadap pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS), tanpa syarat dan sanggup dicabut.
- RIS mendapatkan suatu kedaulatan atas kententuan pada konstitusinya, sementara rancangan konstitusi sudah diserahkan kepada kerajaan Belanda.
- Kedaulatan RIS yang akan diserahkan selambat-lambatnya pada tanggal 30 Desember 1949.
6. Konferensi Meja Bundar

Konferensi Meja Bundar (KMB) (bahasa Belanda: Nederlands-Indonesische rondetafelconferentie) adalah sebuah pertemuan yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, dari 23 Agustus hingga 2 November 1949 antara perwakilan Republik Indonesia, Belanda, dan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg), yang mewakili berbagai negara yang diciptakan Belanda di kepulauan Indonesia.[1] Sebelum konferensi ini, berlangsung tiga pertemuan tingkat tinggi antara Belanda dan Indonesia, yaitu Perjanjian Linggarjati (1947), Perjanjian Renville (1948), dan Perjanjian Roem-Royen (1949). Konferensi ini berakhir dengan kesediaan Belanda untuk menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.
Latar Belakang
Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi, lewat perundingan Linggarjati dan perjanjian Renville. Pada 28 Januari 1949, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa meloloskan resolusi yang mengecam serangan militer Belanda terhadap tentara Republik di Indonesia dan menuntut dipulihkannya pemerintah Republik. Diserukan pula kelanjutan perundingan untuk menemukan penyelesaian damai antara dua pihak.[2]
Menyusul Perjanjian Roem-Royen pada 6 Juli, yang secara efektif ditetapkan oleh resolusi Dewan Keamanan, Mohammad Roem mengatakan bahwa Republik Indonesia, yang para pemimpinnya masih diasingkan di Bangka, bersedia ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar untuk mempercepat penyerahan kedaulatan.[3]
Pemerintah Indonesia, yang telah diasingkan selama enam bulan, kembali ke ibu kota sementara di Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Demi memastikan kesamaan posisi perundingan antara delegasi Republik dan federal, dalam paruh kedua Juli 1949 dan sejak 31 Juli–2 Agustus, Konferensi Inter-Indonesia diselenggarakan di Yogyakarta antara semua otoritas bagian dari Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk. Para partisipan setuju mengenai prinsip dan kerangka dasar untuk konstitusinya.[4] Menyusul diskusi pendahuluan yang disponsori oleh Komisi PBB untuk Indonesia di Jakarta, ditetapkan bahwa Konferensi Meja Bundar akan digelar di Den Haag.
Hasil
Perundingan menghasilkan sejumlah dokumen, di antaranya Piagam Kedaulatan, Statuta Persatuan, kesepakatan ekonomi serta kesepakatan terkait urusan sosial dan militer.[5] Mereka juga menyepakati penarikan mundur tentara Belanda "dalam waktu sesingkat-singkatnya", serta Republik Indonesia Serikat memberikan status bangsa paling disukai kepada Belanda. Selain itu, tidak akan ada diskriminasi terhadap warga negara dan perusahaan Belanda, serta Republik bersedia mengambil alih kesepakatan dagang yang sebelumnya dirundingkan oleh Hindia Belanda.[6] Akan tetapi, ada perdebatan dalam hal utang pemerintah kolonial Belanda dan status Papua Barat.
Konferensi secara resmi ditutup di gedung parlemen Belanda pada 2 November 1949. Isi perjanjian
konferensi adalah sebagai berikut:
- Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat.
- Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusinja; rantjangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Keradjaan Nederland.
- Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949
Keterangan tambahan mengenai hasil tersebut adalah sebagai berikut:
- Serah terima kedaulatan atas wilayah Hindia Belanda dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat negara terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari serah terima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.[12][13][14][15]
- Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan pemimpin kerajaan Belanda sebagai kepala negara
- Pengambilalihan utang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat
Ending
Tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara dilantik. Soekarno menjadi Presidennya, dengan Hatta sebagai Perdana Menteri, yang membentuk Kabinet Republik Indonesia Serikat. Indonesia Serikat dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16 negara bagian dan merupakan persekutuan dengan Kerajaan Belanda.
Tanggal penyerahan kedaulatan oleh Belanda ini juga merupakan tanggal yang diakui oleh Belanda sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia. Barulah sekitar enam puluh tahun kemudian, tepatnya pada 15 Agustus 2005, pemerintah Belanda secara resmi mengakui bahwa kemerdekaan de facto Indonesia bermula pada 17 Agustus 1945. Dalam sebuah konferensi di Jakarta, Perdana Menteri Belanda Ben Bot mengungkapkan "penyesalan sedalam-dalamnya atas semua penderitaan" yang dialami rakyat Indonesia selama empat tahun Revolusi Nasional, meski ia tidak secara resmi menyampaikan permohonan maaf. Reaksi Indonesia kepada posisi Belanda umumnya positif; Menteri Luar Negeri Indonesia Hassan Wirayuda mengatakan bahwa, setelah pengakuan ini, "akan lebih mudah untuk maju dan memperkuat hubungan bilateral antara dua negara".[17]
Terkait utang Hindia Belanda, Indonesia membayar sebanyak kira-kira 4 miliar gulden dalam kurun waktu 1950-1956 namun kemudian memutuskan untuk tidak membayar sisanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar