Rabu, 26 Februari 2020

Mempertahankan Kemerdekaan melalui Diplomasi(perundingan)


1. Perundingan Linggajati



  Perundingan Linggarjati atau kadang juga disebut Perundingan Lingga'r'jati adalah suatu perundingan antara Indonesia dan Belanda di LinggarjatiJawa Barat yang menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan ditandatangani secara sah oleh kedua negara pada 25 Maret 1947.

Latar Belakang
Masuknya AFNEI yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan 'status quo' di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya peristiwa 10 November, selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggung jawab untuk menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia. Oleh sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr, Diplomat Inggris, mengundang Indonesia dan Belanda untuk berunding di Hooge Veluwe, tetapi perundingan tersebut gagal karena Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatera dan Pulau Madura, tetapi Belanda hanya mau mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja. Dalam perundingan ini Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, Belanda diwakili oleh tim yang disebut Komisi Jendral dan dipimpin oleh Wim Schermerhorn dengan anggota H.J. Van Mook, dan Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini.

Hasil perundingan tersebut menghasilkan 17 pasal yang antara lain berisi:
  1. Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan Madura.
  2. Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
  3. Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara RIS.
  4. Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth/Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.


2. Komisi 3 Negara


                           Latar Belakang Komisi Tiga Negara

   Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan Dewan Keamanan atau biasa disebut badan dunia yang ikut berperan dalam upaya menyelesaikan pertikaian antara Indonesia dengan Belanda.
Lembaga yang dibentuk oleh PBB dinamakan dengan KTN yang anggotanya terdiri atas beberapa Negara seperti Belgia mewakili Belanda, Australia mewakili Indonesia dan Amerika Serikat sebagai pihak ke tiga yang ditunjuk oleh Belgia dan Australia.
Latar belakang dari pembentukan KTN ini bermula ketika pada tanggal 20 Juli 1947, Van Mook menyatakan bahwa, ia merasa tidak terikat lagi dengan persetujuan Linggarjati dan perjanjian gencatan senjata.

Seperti yang diketahui bahwa pada tanggal 21 Juli 1947 tentara Belanda melancarkan Agresi Militer pertamanya terhadap pemerintah bangsa Indonesia.
KTN bertugas untuk mengawasi secara langsung penghentian aksi tembak-menembak sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan PBB.

Didalam permasalahan militer KTN dapat mengambil inisiatif untuk menyelesaikannya, sedangkan didalam masalah politik KTN hanya dapat memberikan saran atau usul karena tidak mempunyai hak untuk menentukan keputusan politik yang akan diambil oleh bangsa Indonesia.
Kemudian pihak Belanda membuat batas-batas wilayah dengan memasang patok-patok pada wilayah status quo. Kesulitan yang dihadapi oleh Komisi Tiga Negara adalah melewati garis Van Mook, karena Belanda sangat mempertahankan garis tersebut.

Garis Van Mook merupakan suatu garis yang berguna untuk menghubungkan pucuk-pucuk pasukan Belanda yang maju setelah perintah Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan aksi tembak-menembak.

Tugas Komisi Tiga Negara
KTN ini memiliki beberap tugas pokok yaitu sebagai berikut ini :
  • Untuk menguasai dengan cara langsung penghentian aksi tembak menembak sesuai dengan resolusi PBB.
  • Bertugas menjadi penengah dari konflik yang terjadi antara Indonesia dan juga Belanda.
  • Berwenang untuk memasang patok-patok pada wilayah status quo yang dibantu oleh TNI.
  • Bertugas untuk mempertemukan kembali bangsa Indonesia serta Belanda dalam Perundingan Renville. Tetapi, Perundingan Renville ini justru memberi dampak semakin sempitnya wilayah RI.
Anggota Komisi Tiga Negara
KTN beranggotakan tiga negara yang dipilih oleh bebberapa perwakilan Negara, yaitu sebagai berikut :
  • Negara Australia yang dipilih oleh Bangsa Indonesia yang diwakili oleh Richard C. Kirby
  • Belgia yang dipilih oleh Belanda yang diwakili oleh Paul van Zeeland
  • Amerika Serikat adalah sebagai pihak yang netral diwakili oleh Dr. Frank Graham.
Isi Komisi Tiga Negara
Isi dari Komisi Tiga Negara sama dengan Isi dari perjanjian Renville, berikut ini penjelasannya :
  • Belanda hanya mengakui 3 daerah yaitu Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian dari wilayah Republik Indonesia.
  • Disepakatinya sebuah garis demarkasi yang berguna untuk memisahkan wilayah bangsa Indonesia dan daerah pendudukan Belanda. 
  • TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur Indonesia di Yogyakarta..
Dampak dari Komisi Tiga Negara
Dibawah ini terdapat beberapa dampak ktn bagi bangsa indonesia, yaitu antara lain :
  • Mempertemukan Belanda dan bangsa Indonesia didalam perundingan Renville pada tanggal 8 Desember 1947 – 17 Januari 1948.
  • Mengembalikan para pemimpin Republik Indonesia yang ditahan oleh pihak Belanda di Bangka.
  • Membantu proses terjadinya sebuah Perjanjian Roem Royen pada tanggal 14 April 1949.
  • Nama KTN kemudian diubah menjadi UNCI (United Nations Commission for Indonesia).
  • UNCI ini sendiri dipimpin oleh Merle Cochran yang berasal dari Amerika Serikat dan dibantu oleh Critchley (Australia) dan Harremans (Belgia). 

3. Perjanjian Revile



    Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung PriokJakarta. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), Committee of Good Offices for Indonesia, yang terdiri dari Amerika SerikatAustralia, dan Belgia. Perjanjian ini diadakan untuk menyelesaikan perselisihan atas Perjanjian Linggarjati tahun 1946. Perjanjian ini berisi batas antara wilayah Indonesia dengan Belanda yang disebut Garis Van Mook.

 - Latar Belakang

    Pada tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia. Gubernur Jendral Van Mook dari Belanda memerintahkan gencatan senjata pada tanggal 5 Agustus. Pada 25 Agustus, Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi yang diusulkan Amerika Serikat bahwa Dewan Keamanan akan menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda secara damai dengan membentuk Komisi Tiga Negara yang terdiri dari Belgia yang dipilih oleh Belanda, Australia yang dipilih oleh Indonesia, dan Amerika Serikat yang disetujui kedua belah pihak.

Pada 29 Agustus 1947, Belanda memproklamirkan garis Van Mook yang membatasi wilayah Indonesia dan Belanda. Republik Indonesia menjadi tinggal sepertiga Pulau Jawa dan kebanyakan pulau di Sumatra, tetapi Indonesia tidak mendapatwilayah utama penghasil makanan. Blokade oleh Belanda juga mencegah masuknya persenjataan, makanan dan pakaian menuju ke wilayah Indonesia.

-Lokasi Dan Tokoh

Perjanjian diadakan di wilayah netral yaitu di atas kapal USS Renville milik Amerika Serikat dan dimulai tanggal 8 Desember 1947.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin Harahap, dan Johannes Leimena sebagai wakil. Delegasi Kerajaan Belanda dipimpin oleh Kolonel KNIL Abdulkadir Widjojoatmodjo. Delegasi Amerika Serikat dipimpin oleh Frank Porter Graham.

Isi Perjanjian
  1. Belanda hanya mengakui Jawa TengahYogyakarta, dan Sumatra sebagai bagian wilayah Republik Indonesia
  2. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda
  3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur.
-Ending

Sebagai hasil Persetujuan Renville, pihak Republik harus mengosongkan wilayah-wilayah yang dikuasai TNI, dan pada bulan Februari 1948, Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah. Divisi ini mendapatkan julukan Pasukan Hijrah oleh masyarakat Kota Yogyakarta yang menyambut kedatangan mereka.

4. Perundingan Roem-Royem


Perjanjian Roem-Roijen (juga disebut Perjanjian Roem-Van Roijen) adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang dimulai pada tanggal 14 April 1949 dan akhirnya ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Namanya diambil dari kedua pemimpin delegasiMohammad Roem dan Herman van Roijen. Maksud pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa masalah mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun yang sama. Perjanjian ini sangat alot sehingga memerlukan kehadiran Bung Hatta dari pengasingan di Bangka, juga Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta untuk mempertegas sikap Sri Sultan HB IX terhadap Pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta, di mana Sultan HamengkuBuwono IX mengatakan “Jogjakarta is de Republiek Indonesie” (Yogyakarta adalah Republik Indonesia).
Kesepakatan
Hasil pertemuan ini adalah:
  • Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya
  • Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar
  • Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta
  • Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan semua tawanan perang
Pada tanggal 22 Juni, sebuah pertemuan lain diadakan dan menghasilkan keputusan:
  • Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai perjanjian Renville pada 1948
  • Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan persamaan hak
  • Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia[2]
Ending Perjanjian Roem-Roijen
Terdapat banyak dampak perjanjian Roem Royen pada keadaan di Indonesia. Isi perjanjian Roem Royen termasuk pembebasan tahanan politik sehingga Soekarno dan Hatta kembali ke Yogyakarta setelah diasingkan. Yogyakarta juga menjadi ibukota sementara dari Indonesia. Terjadi juga penyerahan mandat dari Sjafruddin Prawiranegara sebagai presiden PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) kembali kepada Ir. Soekarno.
Yang paling mencolok adalah adanya gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia. Perundingan Roem Royen pun berujung dengan dilaksanakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda yang menyelesaikan permasalahan antara Indonesia dan Belanda.

Demikian sedikit pembahasan tentang perundingan Roem Royen meliputi latar belakang, tujuan, sejarah, hasil dan isi serta dampak yang ditimbulkan dengan adanya perjanjian Roem Roijen antara Belanda dan Indonesia secara lengkap. Peristiwa persetujuan Roem Royen ini pun menjadi salah satu peristiwa bersejarah dalam kelangsungan Republik Indonesia yang terjadi setelah era kemerdekaan.

5. Konferensi inter indonesia


   Konferensi Inter Indonesia merupakan suatu konferensi yang dilakukan antara Negara Indonesia dan BFO (Negara bentukan Belanda) atau Negara boneka Belanda yang dikala itu Indonesia menjadi RIS (Republik Indonesia Serikat).

Awalnya, pembentukan negara BFO ini bertujuan untuk dapat menguasai kembali Indonesia sehabis merdeka. Negara cuilan yang terbentuk dikala itu berjumlah 16 negara yang dibagi menjadi tiga kawasan kekuasaan. Daerah kekuasaan pertama yaitu mencakup negara cuilan Pasundan, Indonesia, Jawa Timur, Negara Indonesia Timur, Madura, Sumatera Selatan, Sumatera Timur.
Daerah kekuasaan kedua yaitu mencangkup Riau, Jawa Tengah, Dayak Besar, Bangka, Belitung, Kaltim, Kalbar, Kalteng, Banjarmasin. Daerah kekuasaan ketiga yang terdiri dari wilayah Indonesia yang tidak masuk kedalam negara bagian.

Konferensi Inter-Indonesia ini merupakan konferensi antara pemerintah Republik Indonesia dan Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) atau Badan Permusyawaratan Federal, yaitu suatu badan yang merupakan suatu kumpulan negara-negara bagian bentukan Belanda.
Waktu Dan Tokoh

Konferensi ini diselenggarakan pada tanggal 19-22 Juli 1949 di Yogyakarta dan tanggal 31 Juli-2 Agustus 1949 di Jakarta. Peserta konferensi Inter-Indonesia merupakan wakil-wakil pemerintah RI dan wakil-wakil negara pada bagian yang dipimpin Van Mook.

Latar Belakang Konferensi Inter Indonesia

Latar belakang dilakukannya suatu Konferensi Inter Indonesia ini bermula ketika hasil Perjanjian Roem Royen yang menyatakan bahwa Indonesia ikut serta dalam KMB (Konferensi Meja Bundar).
Oleh alasannya itu, RI harus mempersiapkan diri dengan mengadakan suatu konferensi antar Indonesia yang dilakukan antara pihak Indonesia dan Negara Boneka Bentukan Belanda.
Sebab lainnya ialah suatu perubahan perilaku negara-negara cuilan BFO sehabis adanya serangan kedua Belanda yang kita kenal juga dengan nama Agresi Militer Belanda 2.
Karena simpati, negara-negara BFO ini lalu membebaskan beberapa pemimpin-pemimpin Indonesia. BFO juga turut andil dalam pelaksanaan Konferensi Inter Indonesia yang berlangsung di kota Yogyakarta.

Tujuan Konferensi Inter Indonesia
Tujuan diadakannya konferensi inter Indonesia ini ialah untuk membentuk suatu negara Federal atau negara yang sanggup disebut dengan negara serikat, yang didalamnya terdiri dari pemerintah pusat, provinsi dan daerah.
Dilaksanakannya konferensi inter Indonesia merupakan salah satu syarat yang harus dapat dilakukan Republik Indonesia Serikat (RIS) supaya dapat menerima ratifikasi kedaulatan dari pemerintah Belanda.
Konferensi ini dilakukan dua kali, yang pertama pada tanggal 19 hingga 22 Juli 1949 dan yang kedua berlangsung pada tanggal 30 Juni 1949 dengan tujuan memilih atribut Negara dan panitia dalam KMB (Konferensi Meja Bundar) di Den Haag, Belanda.

Hasil Konferensi Inter Indonesia

-Hasil Konferensi Inter Indonesia Pertama

Konferensi Inter Indonesia yang pertama dipimpin oleh Bung Hatta (Drs. Mohammad Hatta) yang dilakukan pada tanggal 19-22 Juli 1949.
Berikut ini adalah hasil konferensi inter Indonesia yang pertama :
  • Pertahanan negara ialah suatu hak dari pemerintah RIS (Republik Indonesia Serikat).
  • Angkatan perang RIS yaitu angkatan perang nasional.
  • RIS ini akan mendapatkan kedaulatan dari pemerintah kerajaan Belanda dan Republik Indonesia.
  • RIS dipimpin atau diketuai oleh Presiden yang dipilih oleh negara cuilan Republik Indonesia dan Badan Permusyawaratan Federal (Bijeenkomst Voor Federaal Overlag).
  • Nama negara federal adalah Republik Indonesia Serikat (RIS).
-Hasil Konferensi Inter Indonesia Kedua
Setelah penetapan negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS), lalu dapat diputuskan untuk mengadakan konferensi inter Indonesia kedua.
Berlangsung pada tanggal 30 Juli 1949, bertujuan untuk dapat membentuk atribut Negara dan panitia yang akan ikut dalam perjanjian KMB di Den Haag, Belanda.
Berikut ini adalah hasil konferensi kedua, antara lain :
  • Bendera Republik Indonesia Serikat yaitu sang saka merah putih.
  • Lagu kebangsaan RIS adalah Indonesia Raya.
  • Bahasa resmi (Nasional) Republik Indonesia adalah bahasan Indonesia.
  • Pemilihan Presiden ini yang ditentukan oleh negara cuilan Republik Indonesia dan BFO.
  • Membentuk suatu panitia yang bertugas dalam Konferensi Meja Bundar.
  • Anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Sementara) ditentukan oleh negara cuilan yang berjumlah 16 negara.
Setelah dilakukannya Konferensi Inter Indonesia, lalu pelaksanaan KMB di Den Haad dilakukan pada tanggal 23 Agustus 1949 hingga tanggal 2 November 1949.
Berikut ini poin-poin isi perjanjian tersebut diantaranya :

  • Belanda menyerahkan suatu kedaulatan atas Indonesia sepenuhnya terhadap pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS), tanpa syarat dan sanggup dicabut.
  • RIS mendapatkan suatu kedaulatan atas kententuan pada konstitusinya, sementara rancangan konstitusi sudah diserahkan kepada kerajaan Belanda.
  • Kedaulatan RIS yang akan diserahkan selambat-lambatnya pada tanggal 30 Desember 1949. 

6. Konferensi Meja Bundar



Konferensi Meja Bundar (KMB) (bahasa Belanda: Nederlands-Indonesische rondetafelconferentie) adalah sebuah pertemuan yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, dari 23 Agustus hingga 2 November 1949 antara perwakilan Republik Indonesia, Belanda, dan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg), yang mewakili berbagai negara yang diciptakan Belanda di kepulauan Indonesia.[1] Sebelum konferensi ini, berlangsung tiga pertemuan tingkat tinggi antara Belanda dan Indonesia, yaitu Perjanjian Linggarjati (1947), Perjanjian Renville (1948), dan Perjanjian Roem-Royen (1949). Konferensi ini berakhir dengan kesediaan Belanda untuk menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.

Latar Belakang

Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi, lewat perundingan Linggarjati dan perjanjian Renville. Pada 28 Januari 1949, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa meloloskan resolusi yang mengecam serangan militer Belanda terhadap tentara Republik di Indonesia dan menuntut dipulihkannya pemerintah Republik. Diserukan pula kelanjutan perundingan untuk menemukan penyelesaian damai antara dua pihak.[2]
Menyusul Perjanjian Roem-Royen pada 6 Juli, yang secara efektif ditetapkan oleh resolusi Dewan KeamananMohammad Roem mengatakan bahwa Republik Indonesia, yang para pemimpinnya masih diasingkan di Bangka, bersedia ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar untuk mempercepat penyerahan kedaulatan.[3]

Pemerintah Indonesia, yang telah diasingkan selama enam bulan, kembali ke ibu kota sementara di Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Demi memastikan kesamaan posisi perundingan antara delegasi Republik dan federal, dalam paruh kedua Juli 1949 dan sejak 31 Juli–2 Agustus, Konferensi Inter-Indonesia diselenggarakan di Yogyakarta antara semua otoritas bagian dari Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk. Para partisipan setuju mengenai prinsip dan kerangka dasar untuk konstitusinya.[4] Menyusul diskusi pendahuluan yang disponsori oleh Komisi PBB untuk Indonesia di Jakarta, ditetapkan bahwa Konferensi Meja Bundar akan digelar di Den Haag.

Hasil

Perundingan menghasilkan sejumlah dokumen, di antaranya Piagam Kedaulatan, Statuta Persatuan, kesepakatan ekonomi serta kesepakatan terkait urusan sosial dan militer.[5] Mereka juga menyepakati penarikan mundur tentara Belanda "dalam waktu sesingkat-singkatnya", serta Republik Indonesia Serikat memberikan status bangsa paling disukai kepada Belanda. Selain itu, tidak akan ada diskriminasi terhadap warga negara dan perusahaan Belanda, serta Republik bersedia mengambil alih kesepakatan dagang yang sebelumnya dirundingkan oleh Hindia Belanda.[6] Akan tetapi, ada perdebatan dalam hal utang pemerintah kolonial Belanda dan status Papua Barat.
Konferensi secara resmi ditutup di gedung parlemen Belanda pada 2 November 1949. Isi perjanjian 

konferensi adalah sebagai berikut:
  1. Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat.
  2. Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusinja; rantjangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Keradjaan Nederland.
  3. Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949
Keterangan tambahan mengenai hasil tersebut adalah sebagai berikut:
  • Serah terima kedaulatan atas wilayah Hindia Belanda dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat negara terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari serah terima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.[12][13][14][15]
  • Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan pemimpin kerajaan Belanda sebagai kepala negara
  • Pengambilalihan utang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat
Ending
Tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara dilantik. Soekarno menjadi Presidennya, dengan Hatta sebagai Perdana Menteri, yang membentuk Kabinet Republik Indonesia Serikat. Indonesia Serikat dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16 negara bagian dan merupakan persekutuan dengan Kerajaan Belanda.

Tanggal penyerahan kedaulatan oleh Belanda ini juga merupakan tanggal yang diakui oleh Belanda sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia. Barulah sekitar enam puluh tahun kemudian, tepatnya pada 15 Agustus 2005, pemerintah Belanda secara resmi mengakui bahwa kemerdekaan de facto Indonesia bermula pada 17 Agustus 1945. Dalam sebuah konferensi di Jakarta, Perdana Menteri Belanda Ben Bot mengungkapkan "penyesalan sedalam-dalamnya atas semua penderitaan" yang dialami rakyat Indonesia selama empat tahun Revolusi Nasional, meski ia tidak secara resmi menyampaikan permohonan maaf. Reaksi Indonesia kepada posisi Belanda umumnya positif; Menteri Luar Negeri Indonesia Hassan Wirayuda mengatakan bahwa, setelah pengakuan ini, "akan lebih mudah untuk maju dan memperkuat hubungan bilateral antara dua negara".[17]

Terkait utang Hindia Belanda, Indonesia membayar sebanyak kira-kira 4 miliar gulden dalam kurun waktu 1950-1956 namun kemudian memutuskan untuk tidak membayar sisanya.

Rabu, 12 Februari 2020

Perang mempertahankan Kemerdekaan

1. Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya( peristiwa perang antara pihak Indonesia dengan Belanda ).

- Latar belakang terjadinya peristiwa 10 November 1945 di Surabaya

    Pertempuran 10 November dilatarbelakangi dengan adanya perbedaan persepsi tentang kepemilikan senjata. Tentara Keamanan Rakyat dan rakyat Indonesia yang baru saja mendapatkan senjata rampasan dari tentara Jepang yang menyerah, diperintahkan oleh Inggris untuk menyerahkan senjata.

- Keadaan semenjak adanya perintah penyerahan senjata

    Sejak perintah penyerahan senjata itu muncul kondisi di Surabaya sudah mulai kurang kondusif. Tentara Keamanan Rakyat dan rakyat yang semula mendukung dan membantu tentara Inggris dalam melucuti tentara Jepang, mulai mengambil jarak dan mulai melakukan perlawanan terhadap Inggris demi mempertahankan senjata dan kedaulatan nya untuk mempertahankan diri. Serangan terhadap tentara Inggris dan Belanda mulai terjadi sampai saat itu Bung Karno dan Bung Hatta terpaksa diterbangkan ke Surabaya oleh Inggris demi menenangkan keadaan. Gencata senjata sementara sempat terjadi, sampai suatu peristiwa memicu pertempuran besar terjadi, yaitu meninggalnya Jenderal Mallaby ditangan para pejuang Indonesia. 

- Mengapa bisa terjadi peristiwa 10 November di Surabaya
    Karena perintah untuk menyerahkan senjata dipandang oleh Tentara Keamanan Rakyat dan rakyat Indonesia sebagai intervensi terhadap kedaulatan kemerdekaan karena berarti Indonesia tidak diperkenankan untuk melindungi diri sendiri. Apalagi ada keinginan Belanda yang ingin menggunakan perintah penyerahan senjata itu sebagai cara melemahkan pertahanan Indonesia demi keinginannya untuk kembali menjajah. Kapan tentara Inggris/ sekutu mengeluarkan ultimatum untuk segera menyerahkan senjata? peristiwa meninggalnya Jenderal Mallaby itu sungguh membuat tentara Inggris murka dan mengultimatum Tentara Keamanan Rakyat serta rakyat khusus nya di Surabaya, untuk menyerahkan senjata nya paling lambat 10 November 1945 atau akan diserbu oleh tentara Inggris.

 - Tokoh yang berjuang memompa semangat para pejuang 
     Setelah mendengar ultimatum tersebut Tentara Keamanan Rakyat dan rakyat Surabaya bukannya takut, melainkan menjadi lebih gigih dan berkobar semangatnya. Terlebih lagi saat itu beberapa organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Masyumi sempat juga mengeluarkan pernyataan bahwa perang mempertahankan kedaulatan adalah bentuk jihad. Ditambah sosok Bung Tomo yang dengan pidato-pidatonya terus memompa semangat perjuangan.


 - Lokasi terjadinya Pertempuran 10 November 


    Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di kota Surabaya, Jawa Timur.





- Tokoh yang terlibat dalam peristiwa 10 November 1945

    Ada 5 tokoh yang berperan dalam peristiwa ini, yaitu :
1. Hariyono dan Koesno Wibowo
2. Jendral Mallaby
3. Bung tomo(soetomo) sebagai pembakar semangat prajurit Indonesia
4. Moestopo 
    Mendapat julukan pemberontak oleh soekarno dan Hatta dan juga merupakan mentri pertahanan          Atinterim.
5. Mayjend Sungkono
    Pembakar semangat prajurit dan merupakan komandan Badan Keamanan Rakyat.
6. HR Mohammad Mangoendiprodjo
   Sebagai pimpinan TKR Divisi Jawa Timur dan melakukan kontrak biro dengan pasukan sekutu pada 28 oktober 1945. Mohammad ikut dalam mobil patroli bersama Brigadir Mallaby untuk melihat kemajuan genjatan senjata. Rombongan itu berhenti di jembatan merah didepan gedung internatio. Didalam gedung itu, tentara inggris dari kesatuan Gurkha sedang dikepung oleh pemuda-pemuda indonesia diminta untuk menyerah. dan Mohamaad lantas masuk kedalam gedung tersebut untuk melakukan negoisasi. Tanpa disangka Mohammad di sandra dan terjadilah tembak menembak antara tentara inggris dan pemuda surabaya. Dan Mallaby tewas dalam mobilnya yang meledak terbakar, atas meniggalnya Mallaby Mohammad menolak Ultimatum dari inggris dan Mohammad juga memimpin pertempuran perang terbuka melawan sekutu selama 22 hari.
7. Abdul Wahab(fotografer)
    Berperan mengabadikan peristiwa perobekan bendera diatas gedung Hotel Yamato(kini Hotel Majapahit).
8. K.H Hasyim Asy'ari dan Kyai Wahab Hasbullah
    Pada tanggal 9 November pondok pesantrenNya K.H Hasyim Asy'ari mengirimkan para santrinya untuk ikut bersama bertempur mengusir Inggris.

2. Bandung Lautan Api


- Latar Belakang Bandung Lautan Api

    Peristiwa Bandung Lautan Api ini dilatarbelakangi oleh banyak hal, yaitu Brigade Mac Donald atau sekutu menuntut para masyarakat Bandung agar menyerahkan seluruh senjata dari hasil pelucutan jepang kepada pihak sekutu. Sekutu mengeluarkan ultimatum yang berisi memerintahkan agar kota Bandung bagian utara dikosongkan dari masyarakat Indonesia paling lambat tanggal 29 November 1945. Sekutu membagi Bandung menjadi dua sektor, yaitu sektor utara serta sektor selatan. Rencana pembangunan kembali markas sekutu di Bandung.





- Kronologi Terjadinya Bandung Lautan Api

Kronologi Bandung Lautan Api bisa dirunut dari peristiwa saat pasukan sekutu mendarat di Bandung. Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada Oktober 1945. Para pejuang Bandung saat itu tengah gencar-gencarnya merebut senjata serta kekuasaan dari tangan Jepang. Hubungan pemerintah RI dengan sekutu juga sedang tegang. Di saat seperti itu, pihak sekutu menuntut agar seluruh senjata api yang ada di tangan masyarakat, kecuali TKR serta polisi, diserahkan pada pihak sekutu.
     Tetapi, sekutu yang baru tiba ini meminta pihak Indonesia untuk menyerahkan seluruh senjata hasil pelucutan Jepang ini. Hal ini ditegaskan lewat ultimatum yang dikeluarkan pihak Sekutu. Isi ultimatum itu yaitu agar senjata hasil pelucutan Jepang segera diserahkan pada Sekutu serta masyarakat Indonesia segara mengosongkan kota Bandung paling lambat tanggal 29 November 1945 dengan alasan untuk keamanan rakyat. Ditambah lagi, orang- orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tawanan juga mulai melakukan tindakan-tindakan yang mengganggu keamanan rakyat. Hal semacam ini juga semakin mendorong adanya bentrokan bersenjata pada Inggris serta TKR (Tentara Keamanan Rakyat) jadi tidak dapat dijauhi.
    Saat malam tanggal 21 November 1945, TKR serta sebagian badan perjuangan Indonesia melancarkan serangan pada kedudukan-kedudukan Inggris di wilayah Bandung bagian utara. Hotel Homann serta Hotel Preanger yang dipakai musuh sebagai markas juga tidak luput dari serangan.
     Menanggapi serangan ini, tiga hari kemudian, MacDonald menyampaikan ultimatum pada Gubernur Jawa Barat. Ultimatum ini berisi agar Bandung Utara dikosongkan oleh masyarakat Indonesia, termasuk juga dari pasukan bersenjata. Masyarakat Indonesia yang mendengar ultimatum ini tak menghiraukannya. Karena itu, pecahlah pertempuran pada sekutu serta pejuang Bandung di tanggal 6 Desember 1945.
    Lalu, di tanggal 23 Maret 1946, sekutu kembali mengulang ultimatumnya. Sekutu memerintahkan agar TRI (Tentara Republik Indonesia) segera meninggalkan kota Bandung. Mendengar ultimatum itu, pemerintah Indonesia di Jakarta kemudian menginstrusikan agar TRI mengosongkan kota Bandung untuk keamanan rakyat. Walau demikian, perintah ini berbeda dengan yang diberikan dari markas TRI di Yogyakarta. Dari Yogyakarta, keluar instruksi agar terus bertahan di Bandung. Dalam masa ini, sekutu juga membagi Bandung dalam dua sektor, yaitu Bandung Utara serta Bandung Selatan. Lalu, sekutu meminta masyarakat Indonesia untuk meninggalkan Bandung Utara.
    Kondisi di kota Bandung jadi semakin genting. Situasi kota ini jadi mencekam serta dipenuhi orang -orang yang panik. Para pejuang juga bingung dalam mengikuti instruksi yang berbeda dari pusat Jakarta serta Yogyakarta. Pada akhirnya, para pejuang Indonesia memutuskan untuk melancarkan serangan besar-besaran pada sekutu di tanggal 24 Maret 1946.
    Para pejuang Indonesia menyerang pos-pos sekutu. Mereka juga membakar semua isi kota Bandung Utara. Setelah berhasil membumihanguskan kota Bandung Utara, barulah mereka pergi mengundurkan diri dari Bandung Utara. Aksi ini dilakukan oleh 200.000 orang selama 7 jam. Keadaan Bandung yang dipenuhi dengan kobaran api laksana lautan inilah yang membuat peristiwa tersebut dijuluki dengan sebutan Bandung Lautan Api.
- Tujuan dari peristiwa Bandung Lautan Api
Para pejuang Bandung memilih membakar Bandung dan lalu meninggalkannya dengan alasan tertentu. Maksudnya yaitu untuk mencegah tentara Sekutu serta tentara NICA Belanda dalam memakai kota Bandung sebagai markas strategis militer mereka dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.
 Asal julukan Bandung Lautan Api
stilah atau sebutan ‘Bandung Lautan Api’ pada peristiwa ini muncul di harian Suara Merdeka pada tanggal 26 Maret 1946. Ketika peristiwa pembakaran itu terjadi, seorang wartawan muda, Atje Bastaman, menyaksikannya dari bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut.

- Fakta tentang Bandung Lautan Api

1. Politik “Bumi Hangus” Pada Peristiwa Bandung Lautan Api

Rakyat pada saat itu tak rela kota mereka digunakan oleh musuh untuk melawan kemerdekaan. Oleh karenanya, TRI merumuskan strategi agar rakyat meninggalkan Kota Bandung dalam kondisi Bandung terbakar seluruhnya. Rakyat harus merelakan rumahnya terbakar agar tak diduduki oleh sekutu.


2. A. H. Nasution, Otak di Balik Politik “Bumi Hangus”


Nama pahlawan yang sering menjadi nama jalan raya di seluruh Indonesia ini memanglah sudah tak asing lagi di dengar. Pada masanya, beliau adalah Komandan Divisi III (atau saat ini bernama) Kodam III Siliwangi. Beliau merupakan penggagas sekaligus orang yang memberi komando agar masyarakat meninggalkan Bandung dengan segera.


3. Peristiwa Terjadi Selama 7 Jam

Pembumihangusan Bandung Lautan Api berlangsung selama 7 jam. Tak ada sumber pasti yang mengatakan jam dimulainya peristiwa itu. Tetapi yang pasti, peristiwa itu berlangsung saat malam hari, sampai pukul 24.00 pun peristiwa pembumihangusan ini masihlah terjadi.

4. 200.000 Masyarakat Merelakan Tempat Tinggalnya Dibakar


Sebelum peristiwa pembumihangusan berlangsung, sebanyak 200.000 jiwa yang tinggal di Kota Bandung serta sekitarnya meninggalkan Kota Bandung menuju daerah pegunungan di Selatan.

5. Pencipta Lagu “Halo-halo Bandung” yang Misterius

Lagu nasional yang satu ini memanglah lahir setelah peristiwa Bandung Lautan Api. Tetapi pencipta lagu Halo-halo Bandung tak pernah benar-benar diketahui siapa orangnya. Bila pernah menemukan nama Ismail Marzuki sebagai penciptanya, kamu masihlah belum tepat karena beliau hanya seorang penggubah, bukanlah pencipta dari lagu itu.
3. Medan Area
Lokasi : Medan Sumtra Utara
Waktu : 13 Oktober 1945 - 1946
Tokoh : Brigjen.T.E.D. Kelly
              Teuku Muhammad Hasan ( Gubernur Sumatra )
              Abdul Karim M.S
              Dr. Ferdinand Lumbantobing
              R. Soehardjo Hardjowardojo
              Jendral Suhardjo Hardjo Wadjojo
Latar Belakang : Pada tanggal 9 november 1945, pasukan Sekutu dibawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly mendarat di Sumatera Utara yang dikuti oleh pasukan NICA. Brigadir ini menyatakan kepada pemerintah RI akan melaksanakan tugas kemanusiaan, mengevakuasi tawanan dari beberapa kamp di luar Kota Medan. Dengah dalih menjaga keamanan, para bekas tawanan diaktifkan kembali dan dipersenjatai.
Latar belakang pertempuran Medan Area, antara lain:
1.     Bekas tawanan yang menjadi arogan dan sewenang-wenang.
2.     Ulah seorang penghuni hotel yang merampas dan menginjak-injak lencana merah putih.
3.     Ultimatum agar pemuda Medan menyerahkan senjata kepada Sekutu.
Pemberian batas daerah Medan secara sepihak oleh Sekutu dengan memasang papan pembatas yang bertuliskan “Fixed Boundaries Medan Area (Batas Resmi Medan Area)” di sudut-sudut pinggiran Kota Medan
Kronologi :
9 Oktober 1945,pasukan sekutu dipimpin Brigadir Jenderral T.E.D Kelly mendarat di Sumatera Utara dengan memboncengi orang-orang NICA.13 Oktober 1945,Insiden pertama dari hotel di jalan Bali,Medan.Insiden berawal dari penghuni hotel yang merampas dan menginjak-injak berndera merah putih yang di pakai warga setempat.

10 Oktober 1945 dibentuk TKR Sumatera di pimpin Achmad Tahir dan badan perjuangan yang lainnya.15 Oktober 1945 mereka bergabung menjadi Pemuda Indonesia Sumatera Timur.Pada bulan November 1945,lahir laskar perjuangan baru seperti Napindo,Barisan Merah,Hizbullah dan pemuda parkindo.



18 Oktober 1945,Inggris memberi ultimatum kepada rakyat indonesia agar menyerahkan senjatanya.1 Desember 1945,sekutu memasang papam-papan yangbertuliskan fixed Boundaries Medan Area di berbagai sudutkota Medan.Sejak saat itu,kata-kata "Medan Area" mennjadi terkenal.Bulan April 1946,Tentara Inggris berusaha mendesak pemerintah RI keluar kota Medan.10 A gustus 1946 di Bukit Tinggi diadakan pertemuan antara komandan pasukan yang berjuang di Medan Area yang di bentuksatu komando bernama komandon Resimen Laskar Rakyat Medan Area yang membawahi 4 sektor perjuangan.Dibawah komando ini,mereka meneruskan perjuangan di Medan Area.
4. Pertempuran Ambarawa
Lokasi :  Semarang
Waktu : 20 Oktober 1945
Tokoh : Letkol Isdiman
              Kolonel Sudirman
               M. Sarbini
            Brigadir Bathel
            Letkol Gatot Soebroto
            Kolonel GPH Jati Kusumo
            Kapten Surono    
Latar Belakang :  Insiden di Magelang sesudah mendaratnya Brigade Artileri dari divisi India ke-23 di Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945. Mereka datang untuk mengurus tawanan perang. Pihak sekutu berjanji tidak akan menggangu kedaulatan RI. Pihak Indonesia memperkenankan mereka masuk ke wilayah RI untuk mengurus masalah tawanan perang bangsa belanda yang berada di penjara Magelang dan Ambarawa. Setelah mendapat persetujuan dari Gubernur Jawa tengah Mr. Wongsosonegoro untuk melaksanakan misinya dengan catatan tidak mengganggu kedaulatan RI, maka tentara sekutu kemudian bergerak masuk ke Magelang dan Ambarawa.
Namun, kedatangan pasukan sekutu Inggris diikuti oleh orang-orang NICA yang kemudian mempersenjatai bekas tawanan itu. Pada tanggal 26 Oktober 1945 terjadi insiden di kota Magelang yang berkembang menjadi pertempuran pasukan TKR dengan pasukan gabungan sekutu Inggris dan NICA. Insiden itu berhenti setelah presiden Soekarno dan Brigadir Jendral Bethell datang ke Magelang tanggal 2 November 1945. Mereka mengadakan gencatan senjata dan memperoleh kata sepakat yang dituangkan dalam 12 pasal. Naskah persetujuan itu diantaranya berisi:
  • Pihak sekutu tetap akan menempatkan pasukannya di Magelang untuk melindungi dan mengurus evakuasi APWI (Allied Prisoners War And Interneers atau tawanan perang dan interniran sekutu). Jumlah pasukan sekutu dibatasi sesuai dengan keperluan itu.
  • Jalan Ambarawa – Magelang terbuka sebagai jalur lalu lintas Indonesia – Sekutu
  • Sekutu tidak akan mengakui aktivitas NICA dalam badan-badan yang berada di bawahnya.
Kronologi : Pihak Sekutu temyata mengingkari janjinya. Pada tanggal 20 November 1945 di pertempuran Ambarawa pecah pertempuran antara TKR di bawah pimpinan Mayor Sumarto dan pihak Sekutu. Pada tanggal 21 November 1945, pasukan Sekutu yang berada di Magelang ditarik ke Ambarawa di bawah lindungan pesawat tempur
Namun, tanggal 22 November 1945 pertempuran berkobar di dalam kota dan pasukan Sekutu melakukan terhadap perkampungan di sekitar Ambarawa. Pasukan TKR di Ambarawa bersama dengan pasukan TKR dari Boyolali, Salatiga, dan Kartasura bertahan di kuburan Belanda, sehingga membentuk garis medan di sepanjang rel kereta api yang membelah kota Ambarawa.
Sedangkan dari arah Magelang pasukan TKR Divisi V/Purwokerto di bawah pimpinan Imam Androngi melakukan serangan fajar pada tanggal 21 November 1945. Serangan itu bertujuan untuk memukul mundur pasukan Sekutu yang bertahan di desa Pingit. Pasukan yang dipimpin oleh Imam Androngi herhasil menduduki desa Pingit dan melakukan perebutan terhadap desa-desa sekitarnya. Batalion Imam Androngi meneruskan gerakan pengejarannya. Kemudian Batalion Imam Androngi diperkuat tiga hatalion dari Yogyakarta, yaitu Batalion 10 di bawah pimpinan Mayor Soeharto, Batalion 8 di bawah pimpinan Mayor Sardjono, dan batalion Sugeng.
Akhirnya musuh terkepung, walaupun demikian, pasukan musuh mencoba untuk menerobos kepungan itu. Caranya adalah dengan melakukan gerakan melambung dan mengancam kedudukan pasukan TKR dengan menggunakan tank-tank dari arah belakang. Untuk mencegah jatuhnya korban, pasukan TKR mundur ke Bedono. Dengan bantuan Resimen Dua yang dipimpin oleh M. Sarbini, Batalion Polisi Istimewa yang dipimpin oleh Onie Sastroatmojo, dan batalion dari Yogyakarta mengakibatkan gerakan musuh berhasil ditahan di desa Jambu. Di desa Jambu, para komandan pasukan mengadakan rapat koordinasi yang dipimpin oleh Kolonel Holland Iskandar.



Rapat itu menghasilkan pembentukan komando yang disebut Markas Pimpinan Pertempuran, bertempat di Magelang. Sejak saat itu, Ambarawa dibagi atas empat sektor, yaitu sektor utara, sektor timur, sektor selatan, dan sektor barat. Kekuatan pasukan tempur disiagakan secara bergantian. Pada tanggal 26 November 1945, pimpinan pasukan dari Purwokerto Letnan Kolonel Isdiman gugur maka sejak saat itu Kolonel Sudirman Panglima Divisi V di Purwokerto mengambil alih pimpinan pasukan. Situasi pertempuran menguntungkan pasukan TKR



Peristiwa Sebelum Terjadinya Peristiwa Besar
Selanjutnya pada bulan November tanggal 23 tahun 1945, tidak lama setelah matahari terbit, terjadi peristiwa bbaku tembang dengan musuh yang saat itu ingin mencoba melakukan pertahanan di sekitar gereja dan kerkrop Belanda yang berada di jalan Margo Agoeng. Saat itu, anggota pasukan tentara Indonesia yang ikut melakukan pertempuran adalah Yon. Imam Androngi, Yon.Soeharto, dan Yon.Soegeng



Sementara itu dari pihak sekutu, mereka mengerahkan bala tentara jepang yang mempunyai status sebagai tawanan. Selain itu, mereka juga mengeluarkan armada tank sekaligus melakukan perlawanan dari segala arah, tidak hanya dari arah depan namun juga dari arah belakang. Hal ini menjadikan tentara Indonesia harus mendur dan pindah ke arah Bedono.
Jalannya Pertempuran
Setelah terjadi beberapa pertempuran kecil, selanjutnya pada tanggal 11 Deesember tahun 1945 para Komandan Sektor TKR dan anggota pemuda Laskar mengadakan pertemuan atau rapat yang dipimpin langsung oleh Kolonel Sudirman. Lalu pada hari berikutnya saat jam menunjukkan pukul setengah lima pagi, mulai mengadakan sereangan kembali dengan skala serangan yang jauh lebih besar. Permulaan serangan ini ditandai dengan adanya tembakan yang dikeluarkan dari mutraliur, lalu dilanjutkan dengan tembakan jenis karaben.



Maka pada pagi hari yang cerah tersebut terjadilah peristiwa pertempuran Ambarawa, walaupuun peristiwa tersebut terjadi secara singkat yaitu sekitar satu setengah jam. Hal itu karena dalam waktu tidak terlalu lama, jalan yang merupakan penghubung antara kota Semarang dan Ambarawa berhasil dikuasai oleh tentara TKR.




Namun meski berlangsung dalam waktu yang tidak lama, pertempuran tersebut berlangsung sengit. Kolonwel Soedirman yang terjun langsung dan memimpin pasukan menggunakan taktik perang yang dinamakan dengan sebutak gelar supit urang. Gelar supit urang yaitu suatu siasat pengepungan yang dilakukan secara serentak dari dua sisi yang sekaligus secara langsung dan bersamaan. Dengan teknik seperti ini, maka musuh akan cepat terkurung. Sehingga tidak akan bisa melakukan komunikasi atau hubungan dengan pasukan lain.
5. Pertempuran 5 Hari Di Semarang
Lokasi : Semarang
Waktu : 15 – 19 Oktober 1945
Tokoh : dr. Kariadi,.
             Mr. Wongsonegoro
             Dr. Sukaryo dan Sudanco Mirza Sidharta
  Mayor Kido (Pemimpin Kidō Butai)
 drg. Soenarti
Kasman sidogimejo
Jenderal Nakamura
Latar Belakang : Peristiwa ini diawali karna adanya desas-desus bahwa carangan air minum di candi di racun oleh jepang. untuk membuktikan kebenarannya, Dr.Karyadi, kepala laboratorium pusat rumah sakit rakyat melakukan pemeriksaan. pada saat melakukan pemeriksaan, ia di tembak oleh jepang sehingga gugur. Dengan gugurnya Dr.Karyadi,kemarahan rakyat khususnyapemuda tidak dapat dihindarkan dan terjadilah pertempuran yang menimbulkan banyak korban jiwa.
Untuk mengenang peristiwa ini di dirikan Tugu Muda, dan untuk mengenang jasa Dr.Karyadi namanya diabadikan pada sebuah Rumah Sakit Umum di Semarang.
Kronologi : Pada tanggal 14 Oktober 1945 para pemuda bermaksud memindahkan 400 orang tawanan Jepang (vateran Angkatan Laut) dari Pabrik Gula Cepiring menuju Penjara Bulu di Semarang.Akan tetapi di tengah perjalanan para tawanan itu melarikan diri dan bergabung dengan Kidobutai di Jatingaleh (batalyon setempat di bawah pimpinan Mayor Kido)
- Untuk membuktikan kebenaran desas desus tersebut, dr.Karyadi sebagai Kepala Laboratorium Pusat Rumah Sakit Rakyat (Parusara) melakukan pemeriksaan.Namun, yang terjadi kemudian dr.Karyadi tewas di jalan Pandanaran,Semarang.Tewasnya dr.Karyadi menimbulkan kemarahan para pemuda Semarang.



6. Peristiwa Merah Putih Di Manado

Lokasi : Manado

Waktu : 14 February 1946
Tokoh : BW Lapian
              CH Taulu
Latar Belakang : Sejarah peristiwa merah putih di Manado berawal dari kekalahan Jepang yang secara resmi sudah diakui kepada Pasukan Sekutu sejak pertempuran di Pasifik pada Juli 1944. Sam Ratulangi mengirim para pemuda untuk pergi ke Manado pada saat yang berdekatan untuk mengawasi situasi. Dua diantara para utusan itu adalah Mantik Pakasi dan Freddy Lumanauw dari utusan tentara, serta perwakilan pemuda yaitu Wim Pangalila, Buce Ompi, dan Olang Sondakh. Dua bulan setelah pengutusan tersebut, mendadak muncul pesawat pembom B-29 milik Angkatan Udara Sekutu yang berjumlah puluhan dan menghujani Manado dengan bom, menghancurkan dan merenggut nyawa penduduk. Jepang kemudian mencurigai adanya mata – mata Sekutu yang juga berperan sebagai tokoh Nasionalis.
Kronologi : 
    Para pemuda yang tergabung dalam pasukan KNIL kompi VII di bawah pimpinan Ch. Ch. Taulu bersama dengan rakyat melakukan perebutan kekuasaan di Manado, Tomohon, dan Minahasa pada tanggal 14 Februari 1946. Sekitar 600 orang pasukan dan pejabat Belanda berhasil ditawan. Pada tanggal 16 Februari 1946, dike-luarkan selebaran yang menyatakan bahwa kekuasaan di selumh Manado telah berada di tangan bangsa Indonesia.
Untuk memperkuat kedudukan Republik Indonesia, para pemimpin dan pemuda menyusun pasukan keamanan dengan nama Pasukan Pemuda Indonesia yang dipimpin oleh Mayor Wuisan. Bendera Merah Putih dikibarkan di seluruh pelosok Minahasa hampir selama satu bulan, yaitu sejak tanggal 14 Februari 1946. Di pihak lain, Dr. Sam Ratulangi diangkat sebagai Gubemur Sulawesi dan mempunyai tugas untuk memperjuangkan keamanan dan kedaulatan rakyat Sulawesi.

Ia memerintahkan pembentukan Badan Perjuangan Pusat Keselamatan Rakyat. Dr. Sam Ratulangi membuat petisi yang ditandatangani oleh 540 pemuka masyarakat Sulawesi. Dalam petisi itu dinyatakan bahwa seluruh rakyat Sulawesi tidak dapat dipisahkan dari Republik Indonesia. Dengan adanya petisi tersebut, pada tahun 1946 Sam Ratulangi ditangkap dan dibuang ke Serui (Irian Barat).
7. Peristiwa Hotel Yamato
Lokasi : Surabaya
Waktu : 19 September 1945
Tokoh : Sudirman
               Mr.W.V.Ch Ploegman
               Kusno Wibowo
Latar Belakang :

Kronologi :

Setelah Proklamaasi Kemerdekaan Indonesia dan dikeluarkannya maklumat Soekarno tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya.
Di berbagai tempat strategis dan tempat-tempat lainnya bendera Indonesia dikibarkan. Antara lain di teras atas Gedung Kantor Karesidenan (kantor Syucokan, gedung Gubernuran sekarang, Jalan Pahlawan) yang terletak di muka gedung Kempeitai (sekarang Tugu Pahlawan), di atas Gedung Internatio, disusul barisan pemuda dari segala penjuru Surabaya yang membawa bendera Indonesia datang ke Tambaksari (lapangan Stadion Gelora 10 November) untuk menghadiri rapat raksasa yang diselenggarakan oleh Barisan Pemuda Surabaya.
 Saat rapat tersebut lapangan Tambaksari penuh lambaian bendera merah putih disertai pekik 'Merdeka' yang diteriakkan massa. Pihak Kempeitai yang telah melarang diadakannya rapat tersebut tidak dapat menghentikan dan membubarkan massa rakyat Surabaya tersebut. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya kemudian terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato atau Oranje Hotel (sekarang bernama Hotel Majapahit ) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.

Kedatangan tentara Inggris dan Belanda dalam AFNEI

Awalnya Jepang dan Indo-Belanda yang sudah keluar dari interniran menyusun suatu organisasi, Komite Kontak Sosial, yang mendapat bantuan penuh dari Jepang. Terbentuknya komite ini disponsori oleh Palang Merah Internasional (Intercross). Namun, berlindung dibalik Intercross mereka melakukan kegiatan politik. Mereka mencoba mengambil alih gudang-gudang dan beberapa tempat telah mereka duduki, seperti Hotel Yamato. Pada 18 September 1945, datanglah di Surabaya (Gunungsari) opsir-opsir Sekutu dan Belanda dari AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) bersama-sama dengan rombongan Intercross dari Jakarta.
Rombongan Sekutu tersebut oleh administrasi Jepang di Surabaya ditempatkan di Hotel Yamato, Jl Tunjungan 65, sedangkan rombongan Intercross di Gedung Setan Jl Tunjungan 80 Surabaya, tanpa seijin Pemerintah Karesidenan SurabayaDan sejak itu Hotel Yamato dijadikan markas RAPWI(Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees: Bantuan Rehabilitasi untuk Tawanan Perang dan Interniran).

Pengibaran bendera Belanda

Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman pada malam hari tanggal 19 September1945 ,tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Kabar tersebut tersebar cepat di seluruh kota Surabaya, dan Jl. Tunjungan dalam tempo singkat dibanjiri oleh massa yang marah. Massa terus mengalir hingga memadati halaman hotel serta halaman gedung yang berdampingan penuh massa yang diwarnai amarah. Di sisi agak belakang halaman hotel, beberapa tentara Jepang berjaga-jaga untuk mengendalikan situasi tak stabil tersebut.

Gagalnya perundingan Sudirman dan Ploegman

Tak lama setelah mengumpulnya massa tersebut, Residen Sudirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Sudirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato.

Perobekan bendera Belanda

 

Hotel Majapahit Surabaya yang kini dikelola oleh Mandarin Oriental.


Di luar hotel, para pemuda yang mengetahui berantakannya perundingan tersebut langsung mendobrak masuk ke Hotel Yamato dan terjadilah perkelahian di lobi hotel. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Sudirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang kembali. Peristiwa ini disambut oleh massa di bawah hotel dengan pekik 'Merdeka' berulang kali.

8. Puputan  Margarana


Lokasi : Desa Adeng, Kecamatan Marga, Tabanan, Bali, Indonesia
Waktu : 20 November 1946
Tokoh : I Gusti Ngurah Rai, I Gusti Putu Wisnu, dan pasukan Ciung Wanara.
Latar Belakang :

1. Munculnya rasa kekecewaan rakyat Bali terhadap isi dari Perjanjian Linggarjati, yang menyatakan bahwa hanya ada beberapa daerah saja di Indonesia yang diakui secara de facto.
2. Kedatangan Belanda yang memporak-porandakan Bali
3. I Gusti Ngurah Rai menolak ajakan Belanda untuk bergabung ke dalam Negara Indonesia Timur (NIT)
4. Pasukan Bali berhasil memperoleh kemenangan dalam penyerbuan ke tangsi NICA yang memicu amarah Belanda

Kronologi :

  Salah satu isi perundingan Linggajati padatanggal l0 November 1946 adalah bahwa Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Selanjutnya Belanda harus sudah meninggalkan daerah de facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949.Pada tanggal 2 dan 3 Maret 1949 Belanda mendaratkan pasukannya kurang lebih 2000 tentara di Bali, ikut pula tokoh-tokoh yang memihak Belanda. Pada waktu itu Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai Komandan Resiman Nusa Tenggara sedang pergi ke Yogyakarta untuk mengadakan konsultasi dengan Markas tertinggi TRI.
 Sementara itu perkembangan politik di pusat Pemerintahan Republik Indonesia kurang menguntungkan akibat perundingan Linggajati di mana Bali tidak diakui sebagai bagian wilayah Republik Indonesia. Rakyat Bali merasa kecewa terhadap isi perundingan ini. Lebih-lebih ketika Belanda membujuk Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai diajak membentuk Negara Indonesia Timur.   
  Ajakan tersebut ditolak dengan tegas oleh I Gusti Ngurah Rai, bahkan dijawab dengan perlawanan bersenjata Pada tanggal 18 November 1946 I Gusti Ngurah Rai memperoleh kemenangan dalam penyerbuan ke tangsi NICA di Tabanan. Kemudian Belanda mengerahkan seluruh kekuatan di Bali danLombok untuk menghadapi perlawanan rakyat Bali ini. Pertempuran hebat terjadi pada tanggal 29 November 1946 di Margarana, sebelah utara Tabanan.
  Karena kalah dalam persenjataan maka pasukan Ngurah Rai dapat dikalahkan. I Gusti Ngurai Rai mengobarkan perang “Puputan” atau habis-habisan demi membela Nusa dan Bangsa. Akhirnya I Gusti Ngurai Rai bersama anak buahnya gugur sebagai kusuma bangsa.